Tuesday, November 7, 2017

MANAJEMEN TENAGA PENDIDIK DAN KEPENDIDIKAN

MANAJEMEN TENAGA PENDIDIK DAN KEPENDIDIKAN
  1. Definisi Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan
  1. Definisi Manajemen
Manajemen adalah bekerja dengan orang-orang untuk mencapai tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi  perencanaan , pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan dan kepemimpinan dan pengawasan.
  1. Definisi Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Menurut UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 5 dan 6 yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
  1. Definisi Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Manajemen tenaga pendidik dan kependidikan adalah aktivitas yang harus dilakukan mulai dari tenaga pendidik dan kependidikan itu masuk ke dalam organisasi pendidikan sampai akhirnya berhenti melalui proses perencanaan SDM, perekrutan, seleksi, penempatan, pemberian kompensasi, penghargaan, pendidikan, dan pelatihan/ pengembangan dan pemberhentian.

  1. Tujuan Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan
  1. Memungkinkan organisasi mendapatkan dan mempertahankan  tenaga kerja yang cakap, dapat dipercaya dan memiliki motivasi tinggi.
  2. Meningkatkan dan memperbaiki kapasitas yang dimiliki oleh karyawan.
  3. Mengembangkan sistem kerja dengan kinerja tinggi.
  4. Mengembangkan praktek manajemen dengan komitmen tinggi
  5. Menciptakan iklim kerja yang harmonis

  1. Tugas dan Fungsi Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 Pasal 39 ayat 1 dan 2 :
  1. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
  2. Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional tenaga pendidik dan kependidikan harus memiliki kompetensi yang diisyaratkan baik oleh peraturan pemerintah maupun kebutuhan masyarakat antara lain;
  1. Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
  2. Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.


Berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40 ayat 1 dan 2, tenaga pendidik dan kependidikan memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas yaitu:
    1. Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
      1. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
      2. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
      3. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
      4. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan
      5. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
    2. Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
      1. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
      2. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
      3. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
  1. Aktivitas Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan
  1. Perencanaan
Yaitu pengembangan dan strategi dan penyusunan tenaga pendidik dan kependidikan (SDM) yang komprehensif guna memenuhi kebutuhan organisasi di masa depan.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk merencanakan SDM, diantaranya:
  1. Metode tradisional
  2. Metode perencanaan terintegrasi
  1. Seleksi
Yaitu sebagai suatu proses  pengambilan keputusan dimana individu dipilih untuk mengisi jabatan yang didasarkan pada penilaian terhadap seberapa besar karakteristik individu yang bersangkutan, sesuai dengan  yang dipersyaratkan oleh jabatan tersebut.
  1. Manajemen kinerja
Adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus berkaitan dengan  fungsi-fungsi manajerial kerja. Manajemen kinerja tenaga pendidik dan kependidikan meliputi:
  1. Fungsi kerja esensial yang diharapkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan
  2. Seberapa besar kontribusi pekerjaan pendidik dan kependidikan bagi pencapaian tujuan pendidikan
  3. Apa arti konkrit mengerjakan pekerjaan yang baik
  4. Bagaimana tenaga kependidikan dan dinas bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja yang ada sekarang.
  5. Bagaimana prestasi kerja diukur
  6. Mengenali berbagai hambatan kerja dan mengatasinya
Kriteria manajemen kinerja yang baik diantaranya:
  1. Relevance
  2. Sensitivity
  3. Reliability
  4. Acceptability
  5. Practicability
Langkah-langkah manajemen kinerja:
  1. Persiapan pelaksanaan proses
  2. Penyusunan rencana kerja
  3. Pengkomunikasian kinerja yang berkesinambungan
  4. Pengumpulan data, pengamatan, dan dokumentasi
  5. Mengevaluasi kinerja
  6. Pengukuran dan penilaian kinerja

  1. Pemberian kompensasi
Secara umum bertujuan untuk kepentingan perusahaan, karyawan, dan pemerintah. Supaya tujuan tercapai dan memberikan kepuasan bagi semua pihak hendaknya program pemberian kompensasi didasarkan pada prinsip adil dan wajar.
Tujuan pemberian kompensasi antara lain:
  1. Sebagai ikatan kerja sama
  2. Kepuasan kerja
  3. Pengadaan efektif
  4. Motivasi
  5. Stabilitas karyawan
  6. Disiplin

  1. Pengembangan karier
Yaitu suatu kondisi yang menunjukkan adanya peningkatan-peningkatan status seseorang dalam suatu organisasi dalam jalur karier yang telah ditetapkan dalam organisasi yang bersangkutan.
Maju tidaknya seseorang dalam karier tergantung pada yang bersangkutan itu sendiri, ia perlu terlibat aktif dalam menentukan arah kariernya.
Secara umum hakikat dan tujuan pengembangan karier adalah proses awal yang harus diketahui dengan jelas. Hakikat akan mengacu  pada dasar kekuatan yang membantu proses pengembangan, sedangkan tujuan justru pada apa serta bagaimana meniti karier yang diharapkan.
Prinsip dasar yang dijadikan panduan pengembangan karier terdiri dari:
  1. Kemampuan manajerial
  2. Kemampuan fungsional
  3. Keamanan
  4. Kreatifitas
  5. Otonomi independen
Ada 5 hal yang harus dipertimbangkan agar para pegawai dapat menentukan jalur karier dan pengembangan karier yang dapat mereka tempuh yaitu:
  1. Perlakuan yang adil dalam berkarier
  2. Kepedulian para atasan langsung
  3. Informasi tentang berbagai peluang promosi
  4. Minat untuk dipromosikan
  5. Tingkat kepuasan
Rencana pengembangan karier tidak akan menjadi kenyataan tanpa adanya pengembangan karier yang sistematik dan programmatik.
  1. Pemberhentian
Merupakan fungsi operatif terakhir manajemen SDM. Pemberhentian adalah pemisahan atau pemutusan hubungan tenaga kerja karyawan dari suatu organisasi perusahaan.
Alasan-alasan pemberhentian:
  1. Undang-undang
  2. Keinginan perusahaan
  3. Keinginan karyawan
  4. Pensiun
  5. Kontrak kerja berakhir
  6. Kesehatan karyawan
  7. Meninggal dunia
  8. Perusahaan dilikuidasi
Proses pemberhentian:
  1. Musyawarah karyawan dengan pimpinan
  2. Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan
  3. Musyawarah berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri



Sumber:
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI. (2014). Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

BPHTB

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
(BPHTB)


  1. Dasar Hukum

Penerapan BPHTB di Indonesia dilakukan dengan dasar hukum yang jelas melalui undang-undang serta peraturan pemerintah, keputusan menteri keuangan, keputusan direktur jenderal pajak, dan keputusan pejabat berwenang lainnya sebagai aturan pelaksanaan dan Undang-Undang BPHTB.
Aturan yang menjadi dasar hukum pemungutan BPHTB di Indonesia sebagai berikut:
  1. UU No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  2. PERPU No. 1 tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  3. UU No. 1 tahun 1998 tentang Penetapan PERPU No. 1 tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-Undang.
  4. UU No. 21 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  5. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1997 tentang pelaporan atau Pemberitahuan Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.
  6. Peraturan Pemerintah No. 111 tahun 2000 tentang Pengenaan  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat.
  7. Peraturan Pemerintah No. 112 tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan.
  8. Peraturan Pemerintah No. 113 tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  9. Keputusan Menteri Keuangan No. 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya  Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  10. Keputusan Menteri Keuangan No. 517/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  11. Keputusan Menteri Keuangan No. 519/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
  12. Keputusan Menteri Keuangan No. 87/KMK.03/2002 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  13. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-21/PJ/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan dan Bentuk serta Fungsi Surat Setoran BPHTB (SSB).
  14. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-22/PJ/1997 tentang Tata Cara Pengajuan dan PenyelesaianKeberatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  15. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-24/PJ/2000 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar (SKP-LB) dan Perhitungan Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  16. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-221/PJ/2002 tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

  1. Pengertian BPHTB

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. BPHTB dikenakan atas setiap perolehan hak yang diterima oleh orang atau badan dan terjadi dalam wilayah hukum negara Indonesia. BPHTB merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena dua hal:
  1. Perolehan hak karena peristiwa hukum merupakan perolehan hak yang diperoleh seseorang karena peristiwa hukum, misalnya pewarisan.
  2. Melalui perbuatan hukum, yaitu pemilik tanah dan bangunan secara sadar melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak atas tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain yang akan menerima peralihan hak tersebut. Contohnya jual beli, hibah dan lelang.

  1. Objek Pajak

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang BPHTB menentukan bahwa yang menjadi objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
  1. Perolehan Hak
Adanya peristiwa hukum dan perbuatan hukum, perolehan hak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia, yaitu menggunakan akta autentik, oleh dan di hadapan pejabat yang berwenang.
  1. Hak atas tanah dan bangunan
Yang menjadi objek pajak terbatas pada hak atas tanah yang ditentukan oleh Undang-Undang BPHTB, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan.
  1. Tanah dan atau bangunan
Objek perolehan hak pada BPHTB haruslah tanah dan atau bangunan.
  1. Perolehan hak atas tanah dan bangunan
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. tahun 2000 perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang menjadi objek pajak ada lima belas jenis.
  1. Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemindahan hak
  1. Perolehan hak karena jual beli, oleh pembeli dari penjual di mana pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual.
  2. Perolehan hak karena tukar menukar, seseorang atau suatu badan memberikan tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain sebagai pengganti tanah dan bangunan yang diterimanya.
  3. Perolehan hak karena hibah, berasal dari pemberi hibah pada saat pemberi hibah masih hidup.
  4. Perolehan hak karena hibah wasiat, pemberian kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
  5. Perolehan hak karena waris, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh ahli waris dari pewaris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
  6. Perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu perolehan hak sebagai hasil pengalihan hak dari orang pribadi atau badan kepada perseroan atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan atau badan hukum lain tersebut.
  7. Perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
  8. Perolehan hak karena penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu perolehan hak yang ditetapkan sebagai pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.
  9. Perolehan hak sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum.
  10. Perolehan hak karena penggabungan usaha, yaitu perolehan hak oleh badan usaha yang tetap berdiri dari badan usaha yang telah digabungkan ke dalam badan usaha yang tetap berdiri tersebut.
  11. Perolehan hak karena peleburan usaha, yaitu perolehan hak oleh badan usaha baru sebagai hasil dari peleburan usaha dari badan-badan usaha yang bergabung dan telah dilikuidasi.
  12. Perolehan hak karena pemekaran usaha, yaitu perolehan hak oleh badan usaha yang baru didirikan yang berasal dari aktiva badan usaha induk yang dimekarkan.
  13. Perolehan hak karena hadiah, yaitu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. Akta yang dibuat berupa akta hibah.
  1. Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemberian hak baru
  1. Perolehan hak karena pemberian hak baru sebagai kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
  2. Perolehan hak karena pemberian hak baru di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Hak Atas Tanah dan Bangunan yang Menjadi Objek BPHTB

Sesuai Pasal 2 ayat (3) UU No. 20 tahun 2000, ada enam hak atas tanah yang perolehannya merupakan ojek BPHTB.
  1. Hak Milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan hukum tertentu yang ditetapkan pemerintah.
  2. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu yang ditentukan.
  3. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan UU No. 5 tahun 1960.
  4. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang berwenang.
  5. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atau satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah.
  6. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.

  1. Bukan Objek Pajak
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 20 tahun 2000, yang menentukan bahwa objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
  1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asa perlakuan timbal balik
  2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
  3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut
  4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama
  5. Orang pribadi atau badan karena wakaf
  6. Orang pribadi atau badan, yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

  1. Subjek Pajak
  1. Pada perolehan hak karena jual beli, yang memperoleh hak adalah pembeli. Oleh karena itu, yang menjadi subjek pajak pada perolehan hak karena jual beli adalah pembeli.
  2. Pada perolehan hak pada tukar menukar yang memperoleh hak adalah pihak yang menerima tanah dan bangunan yang di jadikan objek pertukaran sehingga ia merupakan subjek pajak.
  3. Pada perolehan hak karena hibah pihak yang memperoleh hak adalah penerima hibah, oleh karena itu, yang menjadi subjek pajak adalah penerima hibah.
  4. Perolehan hak karena hibah wasiat di terima oleh penerima hibah wasiat sehingga penerima hibah wasiat menjadi subjek pajak.
  5. Pada perolehan hak karena waris yang menerima perolehan hak adalah penerima waris, sehingga ia juga di tetapkan sebagai subjek pajak.
  6. Perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya mengakibatkan hak pemilikan atas tanah dan bangunan di maksud beralih dari pemilik lama kepada perseroan atau badan hukum lain.Dalam hal ini yang menjadi subjek pajak adalah perseroan atau badan hukum lain tersebut, yang merupakan pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan.
  7. Perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak di terima oleh orang atau badan yang sesuai dengan musyawarah sesama pemegang hak bersama di tetapkan sebagai penerima hak atas tanah dan bangunan di maksud. Hal ini menjadi dasar orang atau badan tersebut di tetapkan sebagai subjek pajak.
  8. Perolehan hak karena penunjukan pembeli dalam lelang di terima oleh orang atau badan yang di tetapkan sebagai pemenang lelang, sehingga yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang menjadi pemenang lelang sebagaimana tercantum dalam risalah lelang.
  9. Perolehan hak sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap terjadi dengan peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang di tentukan dalam putusan hakim tersebut, sehingga yang di tetapkan sebagai subjek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan sebagaimana di tentukan dalam putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
  10. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, suatu badan usaha yang menjadi tempat bergabung satu atau lebih badan usaha lain memperoleh hak atas tanah dari badan usaha yang bergabung ke dalamnya jadi badan usaha tersebut merupakan subjek pajak.
  11. Pada perolehan hak karena peleburan usaha, badan usaha baru yang di dirikan sebagai hasil peleburan usaha dua badan usaha atau lebih memperoleh hak atas tanah dan bangunan yang semula di miliki oleh badan usaha yang melakukan peleburan usaha tersebut,hal ini menjadi dasar badan usaha yang di dirikan tersebut menjadi subjek pajak.
  12. Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, badan usaha yang baru di dirikan sebagai hasil pemekaran usaha memperoleh hak atas tanah dan bangunan dari badan usaha induk yang di mekarkan sehingga badan usaha baru tersebut merupakan subjek pajak.
  13. Pada perolehan hak karena hadiah, seorang atau badan memperoleh hak atas tanah dan bangunan dari orang atau pihak lain tanpa adanya penggantian yang di berikannya kepada pihak yang memberikan hadiah tersebut, sehingga yang menjadi subjek pajak adalah penerima hadiah .
  14. Pada perolehan hak baru sebagai kelanjutan pelepasan hak, seseorang atau suatu badan memperoleh hak atas tanah negara yang berasal dari pelepasan hak. Sehingga yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang memperoleh hak baru tersebut.
  15. Pada perolehan hak baru di luar pelepasan hak, seorang atau badan memperoleh hak atas tanah negara yang tidak di bebani dengan hak apapun, sehingga badan yang memperoleh hak atas tanah negara tersebut adalah subjek pajak.

  1. Wajib Pajak
wajib pajak adalah subjek pajak yang di kenakan kewajiban membayar pajak. Karena yang menjadi subjek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yang menjadi wajib pajak tentulah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan sesuai dengan perolehan hak yang terjadi.

  1. Dasar Pengenaan Pajak
Sesuai pasal 6 ayat 1 UU No.20 Tahun 2000 yang menjadi dasar pengenaan pajak pada BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP). Pasal 6 Ayat 2 menentukan yang menjadi NPOP sebagai dasar pengenaan pajak pada masing-masing jenis perolehan hak adalah:
  1. Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi.
  2. Pada perolehan hak karena tukar menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  3. Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  4. Pada perolehan hak karena hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  5. Pada perolehan hak karena waris, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  6. Pada perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
  7. Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  8. Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  9. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
  10. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
  11. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
  12. Pada perolehan hak karena peleburan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  13. Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  14. Pada perolehan hak karena hadiah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
  15. Pada perolehan hak karena penunjukan pembeli dalam lelang, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang
Pada dasarnya hanya ada 3 jenis harga atau nilai yang menjadi NPOP yaitu:
  1. Harga transaksi, yaitu harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan(penjual dan pembeli)
  2. Nilai pasar, yaitu harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
  3. Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, yaitu harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang.
Catatan:

  1. Pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.
  2. Pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:
  • 0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);
  • 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.

  1. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Sesuai Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang BPHTB apabila nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud di atas (yaitu harga transaksi dan nilai pasar) tidak diketahui atau lebih rendah daripada nilai jual objek pajak yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, yang menjadi dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah nilai jual objek pajak (NJOP) pajak bumi dan bangunan. Dengan membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP maka NJOP ditetapkan sebagai penyangga penetapan dasar pengenaan pajak agar dasar pengenaan pajak mencerminkan nilai riil dari tanah dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak.
Berikut contoh penetapan dasar pengenaan pajak menurut UU No.20 Tahun 2000 : Wajib pajak A membeli tanah dan bangunan dengan nilai perolehan objek pajak (harga transaksi) Rp30.000.000,- .NJOP Pajak Bumi dan Bangunan yang ditetapkan atas bumi/tanah dan bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah Rp35.000.000,- . Dalam hal ini yang dipakai sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah Rp35.000.000,- bukan Rp30.000.000,-

  1. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Adalah suatu besaran tertentu dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang tidak dikenakan pajak.
Apabila NPOP kurang dari NPOPTKP yang ditetapkan maka objek tersebut tidak ada BPHTB yang harus dibayar. Sementara apabila NPOP besarnya lebih dari NPOPTKP yang ditetapkan, maka besarnya pajak terutang dihitung dari selisih antara NPOP dengan NPOPTKP.
Menurut Pasal 7 Undang-undang No.20 Tahun 2000 mengatur bahwa NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp60.000.000,- . Khusus bagi perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pewaris pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp300.000.000,-
Contoh penetapan NPOPTKP:
  1. Pada tanggal 1 Februari 2001 wajib pajak “A” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “AA” dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp50.000.000,- . NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk istri/suami, untuk Kabupaten “AA” pada tahun 2001 ditetapkan sebesar Rp60.000.000,- Karena NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  2. Pada tanggal 1 Februari 2001 wajib pajak “B”  membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “AA” dengan NPOP Rp100.000.000,- NPOPTKP perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk istri/suami, untuk Kabupaten “AA” pada tahun 2001 ditetapkan sebesar Rp60.000.000,- .Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp100.000.000,- dikurangi Rp60.000.000,-  sama dengan Rp40.000.000,- maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  3. Pada tanggal 2 Maret 2001 wajib pajak “C” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NPOP Rp400.000.000,- . NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “B” pada tahun 2001 ditetapkan sebesar Rp300.000.000,-  Besarnya NPOPKP adalah Rp400.000.000,- dikurangi dengan Rp300.000.000,- sama dengan Rp100.000.000,-  maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  4. Pada tanggal 2 Februari 2001 wajib pajak orang pribadi “D” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, yaitu sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NPOP Rp250.000.000,- NPOPTKP perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk istri/suami, untuk Kota “BB”  pada tahun 2001  ditetapkan sebesar Rp300.000.000,-. Karena NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

  1. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)
Yaitu besaran tertentu dari NPOP yang boleh dikenakan pajak. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 menetapkan Nilai Perolehan Ojek Pajak Kena Pajak diperoleh dengan cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Dalam BPHTB, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ditetapkan sebagai dasar perhitungan pajak. Dengan demikian NPOPKP merupakan basis pajak pada BPHTB.



  1. Tarif Pajak
Tarif yang digunakan untuk menghitung besarnya BPHTB terutang adalah tarif tunggal. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 menetapkan bahwa tarif pajak ditetapkan sebesar 5%. Dengan demikian, besarnya tarif pajak yang digunakan untuk menetapkan BPHTB terutang ditetapkan sebesar 5% dari NPOPKP.

  1. Cara Perhitungan Pajak
Sesuai Pasal 8 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 197 yang menetapkan bahwa besarnya pajak yang terutang dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.

Pajak terutang = Tarif Pajak x Basis Pajak
BPHTB Terutang = Tarif pajak x NPOPKP
BPHTB Terutang = 5% x NPOKP

Contoh Perhitungan Pajak

Nilai Perolehan Objek Pajak Rp35.000.000,-
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (Rp30.000.000,- )

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak  Rp  5.000.000,-

BPHTB terutang = 5% x Rp5.000.000,-
= Rp250.000.000,-


  1. Langkah-langkah Perhitungan BPHTB Terutang
  1. Tentukan nilai pasar (jika ada) : A
  2. Tentukan harga transaksi (jika ada) : B
  3. Tentukan harga transaksi lelang (jika ada) : C
  4. Tentukan jenis perolehan hak (hal ini penting untuk menentukan pengenaan pajak dan penentuan dasar pengenaan pajak  yang digunakan).
  5. Tentukan waktu terjadinya perolehan hak.
  6. Hitung Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan.

NJOP Bumi/tanah : Luas bumi/tanah x NJOP per m2 =  E
NJOP Bangunan : Luas bangunan x NJOP per m2 =  F
  _____(+)
NJOP Bumi dan Bangunan = G

  1. Tentukan dasar  pengenaan pajak (awal) : A/B/C  berdasarkan jenis perolehan hak.
  2. Bandingkan dasar pengenaan pajak (awal) dengan NJOP yang lebih tinggi menjadi dasar pengenaan pajak (kecuali pada perolehan hak karena lelang, yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah harga transaksi  dalam risalah lelang, yaitu C).
  3. Hitung BPHTB terutang:
NPOP =  A / B / G atau C
NPOPTKP = H
(-)
NPOPKP = I

BPHTB Terutang = 5% x I
= J


  1. Tata Cara Keberatan dan Banding
  1. Keberatan BPHTB
  1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar; d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
  2. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
  3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
  4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka (2) dan angka (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
  5. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
  6. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
  7. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
  8. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
  9. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
  10. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
  11. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (8) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

  1. Banding BPHTB
  1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai kebertannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
  3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
  4. Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.

  1. Pengurangan BPHTB
  1. Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena:
  2. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, contoh; a. Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan;  b. Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
  3. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, contoh; a. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak; b. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus; c. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
  4. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnya; Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat.

Contoh Soal
  1. Tuan budi menjual rumah tinggal miliknya dengan luas tanah 200 dan bangunan seluas 50 kepada nona lisa dengan harga transaksi Rp 60.000.000. diketahui NJOP Tanah per adalah Rp 200.000 dan NJOP Bangunan adalah  Rp 225.000 per , serta NPOPTKP selain karena waris dan hibah wasiat pada kota dimana objek pajak berada pada tahun 2001 di tetapkan Rp 25.000.000
Pertanyaan :
  1. Berapa BPHTB terutang apabila akta notaris untuk transaksi jual beli di lakukan tanggal 15 Juni 2000?
  2. Apabila NJOP atas rumah tersebut pada tahun 2001 adalah sama dengan tahun 2000, berapa BPHTB terutang apabila akta notaris untuk transaksi jual beli di lakukan tanggal 15 Januari 2001?
Penyelesaian :
  1. Harga transaksi :Rp 60.000.000
NPOPTKP Tahun 2000 :Rp 30.000.000
Tuan budi menjual rumah tinggal miliknya kepada nona Lisa dan akta jual beli di buat oleh notaris pada tanggal 15 Juni 2000. Dengan demikian, nona Lisa memiliki hak atas rumah tersebut karena jual beli pada tanggal 15 Juni 2000.

Perhitungan NJOP :
NJOP Bumi/ tanah :200   x   Rp200.000/     =  Rp 40.000
NJOP Bangunan :  50   x   Rp225.000/     =  Rp 11.250
___________  (+)
NJOP Bumi dan Bangunan    Rp 51.250

  • Karena NJOP lebih kecil dari harga transaksi, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi(NPOP= Rp 60.000.000)
BPHTB terutang apabila transaksi di lakukan tanggal 15 Juni 2000 :
NPOP :    Rp 60.000.000
NPOPTKP :    Rp 30.000.000
________________(-)
NPOPKP :   Rp 30.000.000
BPHTB terutang =   5%   x   Rp 30.000.000
=   Rp 1.500.000
Karena yang memperoleh hak dalam transaksi jual beli ini adalah nona Lisa, maka yang wajib membayar pajak atau yang terutang BPHTB adalah nona Lisa. Dengan demikian, akta jual beli di tandatangani oleh notaris selaku PPAT setelah nona Lisa membayar BPHTB yang terutang sebesar Rp 1.500.00
Catatan:
Pada soal tidak disebutkan berapa besarnya NPOPTKP pada kota di mana rumah tinggal tersebut berada untuk tahun 2000, tetapi telah menjadi ketentuan bahwa NPOPTKP pada tahun 2000 berlaku secara nasional sebesar Rp30.000.000,-
  1. Harga transaksi : Rp60.000.000,-
NPOPTKP Tahun 2001 : Rp25.000.000,-

  1. Tuan Dody menjual rumah tinggal miliknya kepada Nona Lisa dan akta jual beli dibuat notaris pada tanggal 15 Januari 2001. Dengan demikian Nona Lisa memperoleh hak atas rumah tinggal tersebut karena jual beli pada tanggal 15 Januari 2001.
Perhitungan NJOP:

NJOP Bumi/tanah: 200 m2 x Rp200.000,- /m2 =  Rp40.000.000,-
NJOP Bangunan :   50 m2 x Rp225.000.000,- /m2 = Rp11.250.000,-
 NJOP Bumi dan Bangunan = Rp51.250.000,-
  • Karena NJOP lebih kecil daripada harga transaksi, maka yang menjadi NPOP adalah harga transaksi (NPOP = Rp60.000.000,-)

BPHTB terutang apabila transaksi dilakukan tanggal 15 Januari 2001.
NPOP Rp60.000.000,-
NPOPTKP Rp25.000.000,-
  (-)
NPOPKP Rp  35.000.000,-

BPHTB terutang = 5% x Rp35.000.000,-
= Rp1.750.000,-

Karena yang memperoleh hak dalam transaksi jual beli ini adalah Nona Lisa , yang wajib membayar pajak atau  yang terutang BPHTB adalah Nona Lisa. Dengan demikian, akta jual beli ditandatangani oleh notaris selaku PPAT setelah Nona Lisa membayar BPHTB yang terutang sebesar Rp1.750.000,-

  1. Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp100.000.000,-, NJOP PBB pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp95.000.000,-. Jika NJOPTKP kota Malang atas transaksi tersebut sebesar Rp60.000.000,-, maka tentukan BPHTB yang terutang atas perolehan hak Tersebut !

Jawab :
NPOP = Rp100.000.000,-
NPOPTKP = (Rp  60.000.000,-)
NPOPKP = Rp  40.000.000,-

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif
BPHTB = NPOPKP x  Tarif

BPHTB Terhutang  = (100.000.000 – 60.000.000) x  5%
                                =  Rp40.000.000 x 5%
                                =  Rp2.000.000,-


  1. Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai JuaI Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 450.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam hal hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 500.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (Rp 300.000.000,00)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 200.000.000,00

BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 200.000.000,00
= Rp I0.000.000,00
BPHTB yang terutang = 50% x Rp 10.000.000,00
= Rp 5.000.000,00



Kuis

  1. Pada tanggal 23 April 2001, PT Abid Wiratama membeli sebidang tanah secara tunai milik Tuan Maliki di Jl. Lowanu Sorosutan UH VI/120, Yogyakarta seluas 4.500 m2. Nilai jual Objek Pajak menurut SPPT PBB Tahun 2001 yang diterima pada bulan Maret 2001 adalah Rp425.000,- per m2. Nilai perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota Yogyakarta ditetapkan sebesar Rp50.000.000,-

Diminta:
  1. Hitung besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar oleh PT Abid Wiratama pada saat pembelian!
  2. Kapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus dilunasi oleh PT Abid Wiratama?

  1. Pada tanggal 20 mei 2001, PT Bayu Dirgantara membeli sebidang tanah seluas 2000 m2 beserta bangunan di atasnya dengan luas 800 m2. Tanah dan bangunan tersebut terletak di jakarta pusat. Harga yang di sepakati oleh PT Bayu Dirgantara adalah Rp 750.000.000 nilai jual objek pajak bumi dan bangunan 2001 yang tertera pada SPPT PBB untuk tahun bersangkutan adalah 900.000.000. nilai peroleha hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima oleh pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami atau istri, untuk Jakarta pusat di tetapkan sebesar 60.000.000.
Hitunglah besarnya biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan yang harus di bayar PT Bayu Dirgantara!

  1. Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) memperoleh hak pengelolaan atas sebidang tanah negara seluas 10 hektare dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Sebesar Rp1.000.000.000,- . Besar NPOPTKP Rp60.000.000,- .Hitunglah besarnya BPHTB terutang!

RINGKASAN MATERI AKUNTANSI

A.       PENGERTIAN AKUNTANSI 1.        Menurut AICPA (Accounting Institute of Certified Public Accountant) : Akuntansi adalah seni penc...